M
|
alam ini mungkin berbeda dari malam yang
sebelumnya. Tak ada satu pun bintang, tak ada bulan. Aku menatap langit yang
gelap, mengingat apa yang telah terjadi hari ini. Tanpa terasa butiran air mata
ini jatuh menetes di pipi, diiringi dengan hujan yang perlahan turun membasahi
bumi, seolah mereka merasakan apa yang aku rasakan hari ini.
Ya, kejadian tadi sepulang sekolah berputar
dalam kepalaku. Aku bersama dengan teman-temanku mampir ke sebuah mall untuk
refreshing sehabis ulangan mid-semester. Dan apa yang aku lihat disana?
Laki-laki yang pernah masuk ke dalam kehidupanku. Laki-laki yang telah
menyakiti aku dan membuat aku terluka, sedang berjalan bergandengan dengan
seorang perempuan. Mereka terlihat sangat mesra.
Dadaku
bergemuruh ingin rasanya aku marah, tapi aku bukan siapa-siapa dia lagi. Ingin
rasanya aku berlari meninggalkan teman-temanku, tapi itu tak mungkin. Perih, itu
satu kata yang menggambarkan perasaanku saat itu.
Suara ketukan di pintu kamarku itu
menyadarkan aku dari lamunanku. Huh, rasanya aku malas sekali untuk membuka
pintu..
“Siapa?” teriakku.
“Ini Bunda, sayang. Ayo kita makan malam
dulu! Kamu belum makan, kan?” kata Bunda.
“Iya, Bunda. Sebentar lagi Rere ke bawah!”
kataku pelan.
“Ya sudah. Bunda tunggu, ya.”
“Iya!”
Padahal rasanya aku malas sekali untuk
makan, tapi nanti kalau aku tidak makan Bunda pasti tanya ini-itu deh. Alhasil
nanti aku bertengkar dengan Bunda.
Akhirnya aku turun dengan langkah yang
gontai, duduk, dan berusaha bersikap biasa saja. Malam ini aku hanya makan
berdua dengan Bunda saja. Ayah sedang dinas di luar kota, dan kakakku, Bram
sedang menyelesaikan tugas kuliahnya di rumah temannya, katanya sih tidak mau
diganggu.
“Re, hari ini kamu kenapa, sih? Bunda
perhatikan sehabis pulang sekolah kamu langsung masuk ke kamar dan gak
keluar-keluar dari kamar. Kamu sedang ada masalah? Ayo, cerita sama Bunda!
Siapa tahu Bunda bisa membantumu?” suara Bunda mengagetkanku.
“Nggak kok Bun, Rere gak kenapa-napa. Tadi
lagi banyak tugas sekolah yang harus Rere kerjakan,” kataku terpaksa berbohong.
“Kamu ngerjain tugas? Gak biasanya kamu
kayak gitu!” kata Bunda sedikit meledekku.
“Ah, Bunda! Bisa aja, nih! Bun, Rere ke
kamar ya?” kataku beranjak dari meja makan.
“Hei, hei, habiskan dulu makanmu!” Bunda
berusaha mencegahku.
“Gak ah, kenyang. ‘Met malam ya Bun, Re
sayang Bunda,” kataku setengah berlari menghindari paksaan Bunda itu.
“Dasar nih anak! Met malam juga. Bunda juga
sayang kamu,” Bunda melanjukan perkataannya.
A
|
ku membaringkan tubuhku di atas kasurku
yang empuk, mencoba untuk tidur, dan
melupakan apa yang telah terjadi. Tapi aku tak bisa tidur. Bahkan untuk sekedar
memejamkan mata saja sulit. Aku teringat saat aku bersamanya. Kita tertawa,,
bercanda bersama. Bahagia, itu yang aku rasakan saat itu. Sampai akhirnya dia
benar-benar pergi dari kehidupanku. Dia telah membohongi aku. Aku berusaha
ikhlas untuk melepaskan dia. Tapi aku tak mampu. Aku begitu menyayanginya.
Aku terkejut melihat jam di kamarku,
ternyata sudah pukul 3 pagi dan aku belum tidur. Masih ada waktu dua jam untuk
beristirahat sebentar sampai tiba waktunya sekolah. Aku pun akhirnya tertidur..
A
|
larm di kamarku berbunyi. Rasanya aku malas
sekali untuk mematikannya. Tapi karena suaranya yang semakin nyaring yang
memekakan telinga, akhirnya aku berusaha meraihnya, mematikannya, dan mencoba
untuk duduk. Aku melihat wajahku di cermin.
“Oh no!! Mataku..,” aku terkejut melihat
mataku yang bengkak akibat menangis semalam. “Aduh!! Aku harus bilang apa ya
ama Bunda?”
Sambil berusaha mencari alasan yang tepat,
lebih baik aku mandi, batinku.
Setelah aku selesai mandi dan bersiap-siap
aku turun ke bawah untuk sarapan. Dalam hati aku terus berdoa semoga Bunda
tidak melihat mataku.
“Baru aja Bunda mau panggil kamu untuk
sarapan, eh kamu udah ke sini duluan,” suara Bunda yang lembut menyambutku.
“Hehehe. Sarapan apa kita pagi ini, Bun?”
“Nasi goreng udang kesukaanmu”
“Asyik!”
“Re, coba Bunda lihat matamu? Kayaknya
bengkak?” pertanyaan Bunda membuatku terkejut kemudian tersedak.
“Hei, pelan-pelan dong sayang!” ucap Bunda
sambil memberikan aku segelas air putih.
“Makasih, Bun,” jawabku.
“Kenapa, Re, matamu itu?” Bunda bertanya
lagi.
“Oh iya, mata ya, Bun? Ini... Oh iya,
semalaman harus ngerjain tugas, mungkin kecapekan lihat buku jadi mata Rere
bengkak Bun” kataku dengan nada seyakin mungkin.
“Aduh! Belajar sih belajar, tapi ‘kan ada
waktunya. Pasti kamu gak tidur, ‘kan?” tanya Bunda.
“Re tidur kok, tapi sekitar jam 3-an.”
“Ya ampun. Kamu ngerjain tugas apa sih?”
“Banyak, Bun! Bunda, Re pamit dulu, ya!
Udah siang nih nanti Re terlambat lagi Bun,” kataku berbohong dan berusaha
menghindari pertanyaan Bunda lagi lalu mencium tangannya dan pergi.
“Ya sudah. Kamu hati-hati di jalan!”
“Iya”
S
|
esampainya di sekolah, aku langsung masuk
ke ruang kelasku yang terletak di lantai 3. Sudah cukup ramai. Ketiga sahabatku,
Dhira, Echa, dan Niken pun sudah datang. Aku menghampiri mereka.
“Pagi!” sapaku.
“Pagi juga,” jawab mereka kompak.
Aku duduk di sebelah Dhira sambil merebahkan
kepalaku ke meja.
“Kenapa loe? Gak semangat banget hari ini?”
tanya dhira
“Gak, gue ga kenapa-napa”.
“Bohong! Loe pasti ada masalah ‘kan? Kita
kenal loe itu gak satu-dua hari, Re. Ayo cerita, loe kenapa?” Echa menimpali
perkataan Dhira.
“Bagi masalah loe ke kita Re, mungkin
dengan loe bagi cerita loe,, perasaan loe akan sedikit lebih tenang,” perkataan
Niken menyadarkan aku.
Aku menangis.. Dalam isak tangisku aku
bercerita tentang apa yang terjadi.
“Ya ampun.. Re, gue tau loe sayang banget
sama Vano tapi loe harus sadar dia udah nyakitin loe!” Dhira terlihat kesal.
“Iya gu tau Dhir.. Gue juga maunya lepas
dari perasaan ini, tapi gue gak tau gimana caranya. Gue udah berusaha tapi gue
gak mampu.”
“Kayanya gue tau deh gimana caranya?” kata
Niken tiba-tiba.
Tapi,
Krriinnnggg......, bel tanda masuk
berbunyi.
“Udah kita lanjutin nanti aja pas bel
istirahat,”.kata Niken
“Oke deh,” sahut Echa dan Dhira
berbarengan.
Mereka pun duduk dibangkunya masing-masing.
“Jangan sedih, ya Re!” ucap Dhira.
Aku hanya tersenyum tipis.
B
|
el istirahat pun berbunyi. Kami semua
berkumpul di kantin untuk melanjutkan pembicaraan kami yang tadi sempat
tertunda. “Gimana tadi caranya, Ken?” tanya Dhira dan Echa berbarengan seolah
tidak sabaran.
“Rere harus punya pacar, seenggaknya temen
deket, deh. Supaya dia lupa sama Vano. Bener gak gue?”
“Ide cemerlang tuh, Ken!” teriak Dhira.
“Tapi yang jadi masalahnya, Rere kita
kenalin sama siapa?” ucap Niken yang terlihat bingung.
“Apa-apaan, sih kalian? Gue gak suka tau!”
bentak Rere.
“Ya ampun Re, kita gak ada maksud kaya gitu
ke loe. Suer deh niat kita murni buat bantuin loe!” Echa terlihat panik.
“Maaf deh kalo loe gak suka sama ide gue. Loe
jangan marah ya sama gue dan semuanya,” kata Niken yang terlihat bersalah.
Aku tertegun melihat mereka semua. Mereka
begitu tulus mau membantuku, tapi aku malah marah ke mereka. Seharusnya aku gak
kaya gitu ke mereka.
“Aturan gue yang minta maaf sama kalian.
Maafin gue ya! Gue gak ada maksud buat marah ke kalian. Tapi jujur gue gak
suka. Gue akui niat kalian baik, tapi gue mohon ama kalian semua biarin aja gue
yang cari siapa orang yang tepat buat gue. Gue gak mau nyusahin kalian semua,”
kataku perlahan-lahan.
“Oke kalo itu emang keputusan loe, kita
hargai keputusan itu! Tapi bener deh kita semua gak ada yang merasa disusahin
ko sama loe, Re. Kita cuma mau yang terbaik buat loe,” tutur Dhira panjang
lebar.
“Thanks, ya. Saat ini yang gue pengen tuh
cuma bersama kalian semua. Gue seneng banget punya sahabat kaya kalian,” kataku.
“Iya kita juga,” jawab Dhira.
“Ya udah, yuk kita ke kelas, sebentar lagi
kan bel,” ajak Niken.
“Ayo!”
Ya, aku seharusnya gak usah sedih, aku
masih punya sahabat yang sayang sama aku, tanpa Vano aku juga masih bisa
lanjutin hidupku, batinku sambil tersenyum memandangi ketiga sahabatku itu.
T
|
ing tong...
Suara bel itu mengagetkan aku yang sedang
menonton tv.
“Huh, siapa sih? Malam-malam gini pake
bertamu segala,” gerutuku dalam hati.
“Mana sih, bibi?”
Aku berteriak-teriak memanggil bi Inah,
pembantuku itu. Bunda memang sedang tidak ada di rumah, tadi ia di telepon oleh
Ayah agar segera menyusulnya ke luar kota, ada keperluan yang mendesak.
Huh, suara bel itu semakin memekakan
telinga. Akhirnya aku memutuskan untuk melihat siapa yang datang
Kubuka pintu rumahku, ternyata yang datang
itu si Dhira dengan seseorang yang tidak aku kenal.
“Loe Dhir? Gue kirain siapa? Ngagetin gue
aja loe. Ayo masuk!” ajakku.
“Oh iya, kenalin dulu nih, sepupu gue,
Kevin,” ucap Dhira.
“Kevin Pratama Yudha”
“Renita Alika Pratiwi”
“Nama yang
cukup indah. Gue manggilnya apa, nih?”
“Cukup Re aja,” jawabku singkat. “Ayo,
silahkan duduk!”
“Ya ampun, biasanya juga kalo gue dateng ga
pernah disuruh duduk!” sela Dhira berusaha menggodaku.
“Ah, ngiri amat, hehehe. Mau minum apa?”
“Gue apa ajah, yang penting ‘berwarna’,”
ucap Dhira.
“Kalo loe?” tanyaku ke Kevin.
“Gue apa aja terserah.”
“Oke, deh! Dhir, loe warna putih kan?”
Dhira terlihat kaget dengan ucapanku..
“Tenang sih, gue boong kali. Hehehe”
“Dasar loe!” teriak Dhira.
Saat membawa nampan yang berisi minuman dan
sedikit cemilan, aku tidak sengaja mendengar ucapan Dhira dan Kevin.
“Gimana Vin, anaknya asyik ga? Baik, rame,
lucu, ‘kan? Yang jelas Re lebih baik dari Tia!!” tanya Dhira.
“ Kelihatannya sih begitu. Semoga saja
ucapan loe benar,” jawab Kevin.
Ada apa ini? batinku heran.
Ternyata mereka diam-diam merencanakan
sesuatu. Mereka akan menjodohkan aku dengan sepupuya Dhira. Pantas saja aku
merasa akhir-akhir ini mereka bersikap aneh ke aku.
Aku keluar dari dapur, meletakkan makanan
dan minuman di meja, lalu menarik tangan Dhira.
“Maksud loe apa, Dhir?” serangku dengan
pertanyaan yang membuat Dhira kaget.
“Loe kenapa sih?” kilahnya.
“Udah jawab dulu pertanyaan gue!!”
“Oke. Gue, Echa, dan Niken pengen
nyomblangin loe sama sepupu gue, Kevin. Sebelumya gue minta maaf karena gak
ijin sama loe dulu, soalnya kita semua tau loe bakal nolak rencana ini,” Dhira
berusaha menjelaskan.
“Jadi loe ke sini cuma pengen nyomblangin
hal yang gak penting kaya gini? Lagipula gue kan dah pernah bilang sama loe dan
semuanya, kalo gue mau gue aja yang cari seseorang yang tepat buat gue. Gue
kira kalian semua ngerti? Ternyata enggak!” kataku dengan perasaan kecewa.
“Maafin gue, Re,” pinta Dhira.
“Ya udahlah,”
Aku lalu kembali ke ruang tamu, untuk
menemani mereka. Walaupun aku gak suka tapi aku masih menghargai kedatangan
mereka. Sikap Dhira terlihat tidak nyaman, mungkin dia mengira aku marah dengan
sikapnya. Padahal enggak! Aku cuma kesal saja. Tapi biarlah aku mau mengerjai
mereka.
Akhirnya setelah sekian lama berbincang
dengan Kevin. Aku tertarik dengan laki-laki ini. Dia begitu baik, asyik, dan
menyenangkan. Beberapa lama kemudian mereka pamit pulang”.
“Gue pulang Re,” pamit Dhira lirih.
“Yaudah hati-hati di jalan.”
“Re, pamit ya. Salam buat orang rumah. Nanti
kapan-kapan gue boleh maen kesini lagi kan?” tanya Kevin.
“Boleh kok,” jawabku.
Mereka pun pulang.
S
|
udah tiga hari aku menjauhi
sahabat-sahabatku, rencananya sih pengen ngerjain mereka. Keesokan harinya di
sekolah. Dhira, Echa, dan Niken meminta maaf kepadaku. Mereka berjanji tidak
akan mengulanginya lagi.
Aku tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi
muka mereka.
“Re, loe ko ketawa sih?” tanya Niken yang
terlihat heran melihatku.
“Loe gak marah sama kita Re?” tambah Echi.
“Ya ampun, gue gak marah kali. Santai aja! Lagipula
mana mungkin sih gue marah sama kalian.”
“Dasar loe, Re! Tiga hari diemin kita,
ternyata cuma pengen ngerjain doang!” gerutu Dhira.
“Hehehe. Kali-kali sih isengin orang. Ga
apa-apa, ‘kan? Oh iya, kalian semua tau gak? Dalam beberapa hari gue deket sama
Kevin, gue udah ngerasa respect sama dia.”
“Ah, yang bener loe?” tanya Dhira tak
percaya.
“Ya, gue juga gak tau kenapa bisa gini.
Tapi itu emang yang gue rasain,” kataku sambil tertawa.
“Ya ampun. Dah yakin gitu, loe! Kemarin
marah-marah! Dasar! Tapi syukur deh seenggaknya loe udah bisa sedikit lupain
Vano,” kata Echa terlihat senang lalu mencoba melemparkan bukunya ke arahku.
“Iya, thanks, ya! Tanpa kalian gue gak
mungkin kaya gini dan kalian semua juga harus tau, ya! Kemarin dan sekarang ‘kan
adalah dua waktu yang berbeda. Hahaha,” jawabku sambil menghindari lemparan
Echa.
“Dasar nih anak! Kita juga seneng kalo loe
juga seneng,” Niken mencubitku gemas.
Lalu kita semua berpelukan dan berjanji
kalo kita akan selalu bersama.
T
|
ernyata, Kevin juga menyimpan perasaan yang
sama ke aku. Setelah kita sering jalan bareng dan lebih mengenal satu sama
lain, aku yakin kalo aku emang beneran
suka sama dia.
Akhirnya dalam waktu empat bulan kita
pendekatan. Gue udah jadian sama Kevin. Gue yakin kalo dia gak bakal nyakitin
gue, kaya Vano. Dan akibat dari jadian gue itu, gue harus traktir
sahabat-sahabat gue selama 1 minggu makan di Restoran. Gimana gak tekor tuh
gue?! Hehe..
Ternyata emang bener, Vano emang bukan yang
terbaik buat gue dan tanpa Vano gue masih bisa lanjutin hidup gue yang masih
panjang ini bersama dengan orang-orang yang gue sayangi.
Kita harus percaya,, bahwa kebahagian itu
pasti akan datang, walau mungkin tidak dengan orang yang kita inginkan atau
kita duga sebelumnya.
“Gue sayang loe, Vin” ucapku lirih namun
dengan penuh keyakinan.
Kevin pun memelukku dan seakan tidak mau
melepaskan pelukannya. Ya.. Aku yakin.. Aku akan bahagia bersamamu Kevin.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
0 komentar:
Posting Komentar