Bienvenue Blogueurs...

Delete this widget from your Dashboard and add your own words. This is just an example!

Pages

Kekasih untuk Rere

Minggu, 29 Desember 2013


 

M
alam ini mungkin berbeda dari malam yang sebelumnya. Tak ada satu pun bintang, tak ada bulan. Aku menatap langit yang gelap, mengingat apa yang telah terjadi hari ini. Tanpa terasa butiran air mata ini jatuh menetes di pipi, diiringi dengan hujan yang perlahan turun membasahi bumi, seolah mereka merasakan apa yang aku rasakan hari ini.
Ya, kejadian tadi sepulang sekolah berputar dalam kepalaku. Aku bersama dengan teman-temanku mampir ke sebuah mall untuk refreshing sehabis ulangan mid-semester. Dan apa yang aku lihat disana? Laki-laki yang pernah masuk ke dalam kehidupanku. Laki-laki yang telah menyakiti aku dan membuat aku terluka, sedang berjalan bergandengan dengan seorang perempuan. Mereka terlihat sangat mesra.
Dadaku bergemuruh ingin rasanya aku marah, tapi aku bukan siapa-siapa dia lagi. Ingin rasanya aku berlari meninggalkan teman-temanku, tapi itu tak mungkin. Perih, itu satu kata yang menggambarkan perasaanku saat itu.
Suara ketukan di pintu kamarku itu menyadarkan aku dari lamunanku. Huh, rasanya aku malas sekali untuk membuka pintu..
“Siapa?” teriakku.
“Ini Bunda, sayang. Ayo kita makan malam dulu! Kamu belum makan, kan?” kata Bunda.
“Iya, Bunda. Sebentar lagi Rere ke bawah!” kataku pelan.
“Ya sudah. Bunda tunggu, ya.”
“Iya!”
Padahal rasanya aku malas sekali untuk makan, tapi nanti kalau aku tidak makan Bunda pasti tanya ini-itu deh. Alhasil nanti aku bertengkar dengan Bunda.
Akhirnya aku turun dengan langkah yang gontai, duduk, dan berusaha bersikap biasa saja. Malam ini aku hanya makan berdua dengan Bunda saja. Ayah sedang dinas di luar kota, dan kakakku, Bram sedang menyelesaikan tugas kuliahnya di rumah temannya, katanya sih tidak mau diganggu.
“Re, hari ini kamu kenapa, sih? Bunda perhatikan sehabis pulang sekolah kamu langsung masuk ke kamar dan gak keluar-keluar dari kamar. Kamu sedang ada masalah? Ayo, cerita sama Bunda! Siapa tahu Bunda bisa membantumu?” suara Bunda mengagetkanku.
“Nggak kok Bun, Rere gak kenapa-napa. Tadi lagi banyak tugas sekolah yang harus Rere kerjakan,” kataku terpaksa berbohong.
“Kamu ngerjain tugas? Gak biasanya kamu kayak gitu!” kata Bunda sedikit meledekku.
“Ah, Bunda! Bisa aja, nih! Bun, Rere ke kamar ya?” kataku beranjak dari meja makan.
“Hei, hei, habiskan dulu makanmu!” Bunda berusaha mencegahku.
“Gak ah, kenyang. ‘Met malam ya Bun, Re sayang Bunda,” kataku setengah berlari menghindari paksaan Bunda itu.
“Dasar nih anak! Met malam juga. Bunda juga sayang kamu,” Bunda melanjukan perkataannya.

A

ku membaringkan tubuhku di atas kasurku yang empuk, mencoba untuk tidur,  dan melupakan apa yang telah terjadi. Tapi aku tak bisa tidur. Bahkan untuk sekedar memejamkan mata saja sulit. Aku teringat saat aku bersamanya. Kita tertawa,, bercanda bersama. Bahagia, itu yang aku rasakan saat itu. Sampai akhirnya dia benar-benar pergi dari kehidupanku. Dia telah membohongi aku. Aku berusaha ikhlas untuk melepaskan dia. Tapi aku tak mampu. Aku begitu menyayanginya.
Aku terkejut melihat jam di kamarku, ternyata sudah pukul 3 pagi dan aku belum tidur. Masih ada waktu dua jam untuk beristirahat sebentar sampai tiba waktunya sekolah. Aku pun akhirnya tertidur..


A
larm di kamarku berbunyi. Rasanya aku malas sekali untuk mematikannya. Tapi karena suaranya yang semakin nyaring yang memekakan telinga, akhirnya aku berusaha meraihnya, mematikannya, dan mencoba untuk duduk. Aku melihat wajahku di cermin.
“Oh no!! Mataku..,” aku terkejut melihat mataku yang bengkak akibat menangis semalam. “Aduh!! Aku harus bilang apa ya ama Bunda?”
Sambil berusaha mencari alasan yang tepat, lebih baik aku mandi, batinku.
Setelah aku selesai mandi dan bersiap-siap aku turun ke bawah untuk sarapan. Dalam hati aku terus berdoa semoga Bunda tidak melihat mataku.
“Baru aja Bunda mau panggil kamu untuk sarapan, eh kamu udah ke sini duluan,” suara Bunda yang lembut menyambutku.
“Hehehe. Sarapan apa kita pagi ini, Bun?”
“Nasi goreng udang kesukaanmu”
“Asyik!”
“Re, coba Bunda lihat matamu? Kayaknya bengkak?” pertanyaan Bunda membuatku terkejut kemudian tersedak.
“Hei, pelan-pelan dong sayang!” ucap Bunda sambil memberikan aku segelas air putih.
“Makasih, Bun,” jawabku.
“Kenapa, Re, matamu itu?” Bunda bertanya lagi.
“Oh iya, mata ya, Bun? Ini... Oh iya, semalaman harus ngerjain tugas, mungkin kecapekan lihat buku jadi mata Rere bengkak Bun” kataku dengan nada seyakin mungkin.
“Aduh! Belajar sih belajar, tapi ‘kan ada waktunya. Pasti kamu gak tidur, ‘kan?” tanya Bunda.
“Re tidur kok, tapi sekitar jam 3-an.”
“Ya ampun. Kamu ngerjain tugas apa sih?”
“Banyak, Bun! Bunda, Re pamit dulu, ya! Udah siang nih nanti Re terlambat lagi Bun,” kataku berbohong dan berusaha menghindari pertanyaan Bunda lagi lalu mencium tangannya dan pergi.
“Ya sudah. Kamu hati-hati di jalan!”
“Iya”


S
esampainya di sekolah, aku langsung masuk ke ruang kelasku yang terletak di lantai 3. Sudah cukup ramai. Ketiga sahabatku, Dhira, Echa, dan Niken pun sudah datang. Aku menghampiri mereka.
“Pagi!” sapaku.
“Pagi juga,” jawab mereka kompak.
Aku duduk di sebelah Dhira sambil merebahkan kepalaku ke meja.
“Kenapa loe? Gak semangat banget hari ini?” tanya dhira
“Gak, gue ga kenapa-napa”.
“Bohong! Loe pasti ada masalah ‘kan? Kita kenal loe itu gak satu-dua hari, Re. Ayo cerita, loe kenapa?” Echa menimpali perkataan Dhira.
“Bagi masalah loe ke kita Re, mungkin dengan loe bagi cerita loe,, perasaan loe akan sedikit lebih tenang,” perkataan Niken menyadarkan aku.
Aku menangis.. Dalam isak tangisku aku bercerita tentang apa yang terjadi.
“Ya ampun.. Re, gue tau loe sayang banget sama Vano tapi loe harus sadar dia udah nyakitin loe!” Dhira terlihat kesal.
“Iya gu tau Dhir.. Gue juga maunya lepas dari perasaan ini, tapi gue gak tau gimana caranya. Gue udah berusaha tapi gue gak mampu.”
“Kayanya gue tau deh gimana caranya?” kata Niken tiba-tiba.
Tapi,
Krriinnnggg......, bel tanda masuk berbunyi.
“Udah kita lanjutin nanti aja pas bel istirahat,”.kata Niken
“Oke deh,” sahut Echa dan Dhira berbarengan.
Mereka pun duduk dibangkunya masing-masing.
“Jangan sedih, ya Re!” ucap Dhira.
Aku hanya tersenyum tipis.


B
el istirahat pun berbunyi. Kami semua berkumpul di kantin untuk melanjutkan pembicaraan kami yang tadi sempat tertunda. “Gimana tadi caranya, Ken?” tanya Dhira dan Echa berbarengan seolah tidak sabaran.
“Rere harus punya pacar, seenggaknya temen deket, deh. Supaya dia lupa sama Vano. Bener gak gue?”
“Ide cemerlang tuh, Ken!” teriak Dhira.
“Tapi yang jadi masalahnya, Rere kita kenalin sama siapa?” ucap Niken yang terlihat bingung.
“Apa-apaan, sih kalian? Gue gak suka tau!” bentak Rere.
“Ya ampun Re, kita gak ada maksud kaya gitu ke loe. Suer deh niat kita murni buat bantuin loe!” Echa terlihat panik.
“Maaf deh kalo loe gak suka sama ide gue. Loe jangan marah ya sama gue dan semuanya,” kata Niken yang terlihat bersalah.
Aku tertegun melihat mereka semua. Mereka begitu tulus mau membantuku, tapi aku malah marah ke mereka. Seharusnya aku gak kaya gitu ke mereka.
“Aturan gue yang minta maaf sama kalian. Maafin gue ya! Gue gak ada maksud buat marah ke kalian. Tapi jujur gue gak suka. Gue akui niat kalian baik, tapi gue mohon ama kalian semua biarin aja gue yang cari siapa orang yang tepat buat gue. Gue gak mau nyusahin kalian semua,” kataku perlahan-lahan.
“Oke kalo itu emang keputusan loe, kita hargai keputusan itu! Tapi bener deh kita semua gak ada yang merasa disusahin ko sama loe, Re. Kita cuma mau yang terbaik buat loe,” tutur Dhira panjang lebar.
“Thanks, ya. Saat ini yang gue pengen tuh cuma bersama kalian semua. Gue seneng banget punya sahabat kaya kalian,” kataku.
“Iya kita juga,” jawab Dhira.
“Ya udah, yuk kita ke kelas, sebentar lagi kan bel,” ajak Niken.
“Ayo!”
Ya, aku seharusnya gak usah sedih, aku masih punya sahabat yang sayang sama aku, tanpa Vano aku juga masih bisa lanjutin hidupku, batinku sambil tersenyum memandangi ketiga sahabatku itu.


T
ing tong...
Suara bel itu mengagetkan aku yang sedang menonton tv.
“Huh, siapa sih? Malam-malam gini pake bertamu segala,” gerutuku dalam hati.
“Mana sih, bibi?”
Aku berteriak-teriak memanggil bi Inah, pembantuku itu. Bunda memang sedang tidak ada di rumah, tadi ia di telepon oleh Ayah agar segera menyusulnya ke luar kota, ada keperluan yang mendesak.
Huh, suara bel itu semakin memekakan telinga. Akhirnya aku memutuskan untuk melihat siapa yang datang
Kubuka pintu rumahku, ternyata yang datang itu si Dhira dengan seseorang yang tidak aku kenal.
“Loe Dhir? Gue kirain siapa? Ngagetin gue aja loe. Ayo masuk!” ajakku.
“Oh iya, kenalin dulu nih, sepupu gue, Kevin,” ucap Dhira.
“Kevin Pratama Yudha”
“Renita Alika Pratiwi”
“Nama yang  cukup indah. Gue manggilnya apa, nih?”
“Cukup Re aja,” jawabku singkat. “Ayo, silahkan duduk!”
“Ya ampun, biasanya juga kalo gue dateng ga pernah disuruh duduk!” sela Dhira berusaha menggodaku.
“Ah, ngiri amat, hehehe. Mau minum apa?”
“Gue apa ajah, yang penting ‘berwarna’,” ucap Dhira.
“Kalo loe?” tanyaku ke Kevin.
“Gue apa aja terserah.”
“Oke, deh! Dhir, loe warna putih kan?”
Dhira terlihat kaget dengan ucapanku..
“Tenang sih, gue boong kali. Hehehe”
“Dasar loe!” teriak Dhira.
Saat membawa nampan yang berisi minuman dan sedikit cemilan, aku tidak sengaja mendengar ucapan Dhira dan Kevin.
“Gimana Vin, anaknya asyik ga? Baik, rame, lucu, ‘kan? Yang jelas Re lebih baik dari Tia!!” tanya Dhira.
“ Kelihatannya sih begitu. Semoga saja ucapan loe benar,” jawab Kevin.
Ada apa ini? batinku heran.
Ternyata mereka diam-diam merencanakan sesuatu. Mereka akan menjodohkan aku dengan sepupuya Dhira. Pantas saja aku merasa akhir-akhir ini mereka bersikap aneh ke aku.
Aku keluar dari dapur, meletakkan makanan dan minuman di meja, lalu menarik tangan Dhira.
“Maksud loe apa, Dhir?” serangku dengan pertanyaan yang membuat Dhira kaget.
“Loe kenapa sih?” kilahnya.
“Udah jawab dulu pertanyaan gue!!”
“Oke. Gue, Echa, dan Niken pengen nyomblangin loe sama sepupu gue, Kevin. Sebelumya gue minta maaf karena gak ijin sama loe dulu, soalnya kita semua tau loe bakal nolak rencana ini,” Dhira berusaha menjelaskan.
“Jadi loe ke sini cuma pengen nyomblangin hal yang gak penting kaya gini? Lagipula gue kan dah pernah bilang sama loe dan semuanya, kalo gue mau gue aja yang cari seseorang yang tepat buat gue. Gue kira kalian semua ngerti? Ternyata enggak!” kataku dengan perasaan kecewa.
“Maafin gue, Re,” pinta Dhira.
“Ya udahlah,”
Aku lalu kembali ke ruang tamu, untuk menemani mereka. Walaupun aku gak suka tapi aku masih menghargai kedatangan mereka. Sikap Dhira terlihat tidak nyaman, mungkin dia mengira aku marah dengan sikapnya. Padahal enggak! Aku cuma kesal saja. Tapi biarlah aku mau mengerjai mereka.
Akhirnya setelah sekian lama berbincang dengan Kevin. Aku tertarik dengan laki-laki ini. Dia begitu baik, asyik, dan menyenangkan. Beberapa lama kemudian mereka pamit pulang”.
“Gue pulang Re,” pamit Dhira lirih.
“Yaudah hati-hati di jalan.”
“Re, pamit ya. Salam buat orang rumah. Nanti kapan-kapan gue boleh maen kesini lagi kan?” tanya Kevin.
“Boleh kok,” jawabku.
Mereka pun pulang.


S
udah tiga hari aku menjauhi sahabat-sahabatku, rencananya sih pengen ngerjain mereka. Keesokan harinya di sekolah. Dhira, Echa, dan Niken meminta maaf kepadaku. Mereka berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Aku tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi muka mereka.
“Re, loe ko ketawa sih?” tanya Niken yang terlihat heran melihatku.
“Loe gak marah sama kita Re?” tambah Echi.
“Ya ampun, gue gak marah kali. Santai aja! Lagipula mana mungkin sih gue marah sama kalian.”
“Dasar loe, Re! Tiga hari diemin kita, ternyata cuma pengen ngerjain doang!” gerutu Dhira.
“Hehehe. Kali-kali sih isengin orang. Ga apa-apa, ‘kan? Oh iya, kalian semua tau gak? Dalam beberapa hari gue deket sama Kevin, gue udah ngerasa respect sama dia.”
“Ah, yang bener loe?” tanya Dhira tak percaya.
“Ya, gue juga gak tau kenapa bisa gini. Tapi itu emang yang gue rasain,” kataku sambil tertawa.
“Ya ampun. Dah yakin gitu, loe! Kemarin marah-marah! Dasar! Tapi syukur deh seenggaknya loe udah bisa sedikit lupain Vano,” kata Echa terlihat senang lalu mencoba melemparkan bukunya ke arahku.
“Iya, thanks, ya! Tanpa kalian gue gak mungkin kaya gini dan kalian semua juga harus tau, ya! Kemarin dan sekarang ‘kan adalah dua waktu yang berbeda. Hahaha,” jawabku sambil menghindari lemparan Echa.
“Dasar nih anak! Kita juga seneng kalo loe juga seneng,” Niken mencubitku gemas.
Lalu kita semua berpelukan dan berjanji kalo kita akan selalu bersama.


T
ernyata, Kevin juga menyimpan perasaan yang sama ke aku. Setelah kita sering jalan bareng dan lebih mengenal satu sama lain,  aku yakin kalo aku emang beneran suka sama dia.
Akhirnya dalam waktu empat bulan kita pendekatan. Gue udah jadian sama Kevin. Gue yakin kalo dia gak bakal nyakitin gue, kaya Vano. Dan akibat dari jadian gue itu, gue harus traktir sahabat-sahabat gue selama 1 minggu makan di Restoran. Gimana gak tekor tuh gue?! Hehe..
Ternyata emang bener, Vano emang bukan yang terbaik buat gue dan tanpa Vano gue masih bisa lanjutin hidup gue yang masih panjang ini bersama dengan orang-orang yang gue sayangi.
Kita harus percaya,, bahwa kebahagian itu pasti akan datang, walau mungkin tidak dengan orang yang kita inginkan atau kita duga sebelumnya.
“Gue sayang loe, Vin” ucapku lirih namun dengan penuh keyakinan.
Kevin pun memelukku dan seakan tidak mau melepaskan pelukannya. Ya.. Aku yakin.. Aku akan bahagia bersamamu Kevin.




Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer